Pesona Gunung Lawu via Candi Cetho

1:06 PM nmhana 0 Comments


Sudah membaca ulasan tentang perjalanan saya waktu ke Candi Cetho beberapa waktu silam? Kali ini perjalanan saya tidak hanya berhenti di Candi Cetho. Tapi kita akan lanjutkan lebih ke atas lagi. Ke Candi Ketek? Tidak hanya sampai di situ. Kita akan terus ke atas, ke atas dan ke atas sampai ke puncak!!!


Puncak? Apa ini serius? Ya, ini serius. Dan ini benar-benar menjadi perjalan yang luar biasa berkesan. Ingin tahu cerita lengkapnya? Mari kita simak kisah suka duka (meski lebih banyak dukanya ketimbang sukanya).

Ini dimulai ketika salah seorang teman saya, sebut saja dia Si Koboi Lajang, merencanakan perjalanan ke timur. Meskipun rencana awal sempat berpikir untuk pergi Gunung Merbabu, namun meeting point di Magelang sedikit membuat saya keberatan. Karena nyali saya tidak cukup tangguh untuk mengendarai motor sampai ke sana. Jadi tujuah sudah diputuskan. Kita akan ke Lawu via Candi Cetho.



Rupanya tidak hanya Si Koboi Lajang. Ada juga dua teman saya yang lain. Sebut saja Mr. J dan Mr. Sam. Sejujurnya, saat akan memulai perjalanan kondisi fisik saya sedang kurang fit. Tapi tidak mungkin sekali kalau saya membatalkan diri untuk tidak ikut. Jadi dengan sedkit rasa nekad kami berangkat pada hari sabtu pagi (19-08-2017).

Perjalanan dimula dari Jogja jam 06.00, dan kami tiba di basecamp Candi Cetho jam 09.30. Setelah istirahat beberapa saat, kami langsung melakukan registrasi pendakian. Pukul 10.30 kami langsung start dari basecamp lalu berangkat. 

Ini adalah kali pertama bagi saya berjalan tanpa membawa beban di punggung. Tapi beban saya berpindah ke pundak kanan karena membawa tas selempang. But it's ok. Mengingat rute yang lumayan terjal membuat saya sulit membayangkan, apa jadinya kalau saya membawa carrier sendiri.



Perjalanan dari basecamp ke pos 1 memakan waktu sekitar 45 menit dengan trek yang masih agak landai walaupun di beberapa sisi kami menemui tanjakan yang cukup terjal. Di pos 1 kita menemui sebuah gubuk kecil yang bisa menjadi tempat berteduh. Di dalamnya juga terdapat mata air mengalir dalam paralon yang terbuka.


Dari Pos 1 menuju pos 2 kita akan melihat pos bayangan, atau saya lebih suka menyebutnya pos 1 1/2. Lebih banyak jalur landai di sini, jadi bisa sedikit menghemat tenaga. Waktu tempuh dari pos 1 menuju pos 2 sekitar 50 menit. Istirahat hanya sebentar dan kami kembali melanjutkan perjalanan mengingat hari mulai siang. Kami menargetkan untuk bisa tiba di pos 5 sebelum maghrib.



Trek menuju pos 3 semakin menanjak, dan saya semakin kualahan. Padahal tidak berat beban yang saya bawa. Mungkin ini karena kondisi tubuh yang sudah lumayan lama dimanja dengan duduk berlama-lama di kursi, kurang olahraga dan makan yang kurang teratur. Saya menyesal karena tidak mempersiapkan perjalanan kali ini dengan baik. Tapi bisa juga ini terjdi karena kondisi fisik yang memang sedang kurang sehat. Ya, ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi.


Di antara perjalanan menuju setiap pos, trek menuju pos 4 adalah yang paling kejam menurut saya. Bagaimana tidak? Di sini jalannya selalu menanjak. Dan hampir tenaga saya habis. Bahkan setiap sepuluh langkah saya meminta istirahat. Nafas saya engap, seperti mau putus. Entahlah, seperti sudah hilang kesadaran dan entah akan bisa melanjutkan atau tidak.


Untungnya kakak-kakak baik hati itu tidak henti membuat gurauan-gurauan yang membuat saya tidak bisa menahan tawa meski dengan kepala yang berdenyut-denyut. Begitu tiba di pos 4 saya meminta untuk istirahat lebih lama. 

Kabut yang lumayan tebal sempat menyelimuti, sampai mengundang titik-titik air yang awalnya saya kira gerimis. Ternyata itu air dari kabut yang terasa sangat segar. Ya, sedkit menyegarkan pikiran.

Perjalanan dari pos 4 menuju pos 5 adalah trek yang menryenangkan dengan pemandangan indah dan udara yang segar. Tidak hanya itu. Sinar matahari sore juga bisa sedikit mengusir rasa dingin yang dirasakan sepanjang perjalanan. Ada satu sabana kesacil dan satu sabana besar. Indah sekali, ditambah dengan cuaca cerah dan angin yang berhembus pelan.





Sampai akhirnya kami pun tiba di pos 5. Sudah ada dua tenda yang berdiri. Masih ada tempat yang cukup luas. Sangat luas bahkan. Di pos 5 ini sabana besar terbentang seperti karpet berbulu yang lembut. Hari mulai gelap, dan setelah tenda berdiri kami mulai bersiap untuk memasak. Sayangnya, kondisi badan yang kurang sehat membuat saya hanya bisa meringkuk di dalam tenda. Angan-angan ingin memasak sayur sop pun musnah. Kini giliran para kakak yang membuatkan makan malam buat saya. Maaf sekali, hehehe...

Sebelum tidur kami sempat membuat api unggun dan berbincang dengan pendaki lain. Rencana untuk melihat bintang hilang sudah karena udara yang sangat dingin. Bahkan di dalam tenda kami dapat mendengar suara angin bergemuruh seperti pesawat hendak lepas landas. Dan malam itu, dingin jadi sahabat yang setia, tak mau pergi. Bahkan menyelip lewat celah-celah mana saja.

Dan ini adalah kali pertama bagi saya bisa tidur dengan sangat pulas. Percayakah kalau saya sampai bermimpi? Itu benar-benar terjadi, walau saya lupa apa yang ada dalam mimpi. Tapi setidaknya saya bisa mengobati rasa kantuk setelah sehari sebelumnya saya sangat kurang tidur.

Jam 6 pagi, setelah meneguk segelas teh panas kami langsung melakukan summit. Lagi-lagi kondisi tubuh saya bermasalah. Mountain sickness, atau para kakak menyebutnya mabok gunung. Perut mual dan nafas engap. Selalu seperti itu. Membuat perjalanan menuju Warung Mbok Yem terasa penuh sensasi. Tapi begitu tiba di sana terbayar sudah rasa lelah. Gorengan, teh panas dan nasi pecel. Maka nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?






Tapi rupanya tantangan tidak berhenti sampai di situ. Karena begitu melihat puncak yang sesungguhnya saya cuma bisa menelan ludah. Benarkah di atas sana? Dalam batin saya ingin menjerit dan berlari pulang ke rumah. Tapi itu hanya ada dalam benak. Dan satu-satunya hal yang harus saya jalani adalah terus berjalan. Meski lagi dan lagi saya harus berhenti untuk istirahat.




Setelah perjalanan yang membuat hati menangis, akhirnya tiba juga di puncak. Tugu di ketinggian 3.265 mdpl menyambut dengan bendera merah-putih berkibar di ujungnya. Siapa yang menyangka kalau saya akan bisa berada di tempat setinggi itu? Melihat ke bawah, ternyata memang tinggi.

Tak lama berada di puncak, lalu kami memutuskan untuk kembali turun. Perjalan turun tak seberat perjalanan saat naik. Tapi tetap saja, lutut selalu jadi sasaran rasa sakit saat turun  gunung. Tapi dengan bantuan sebuah tongkat kayu (ajaib) bisa sedikit mengurangi beban di lutut.

Kembali tiba di pos 5, Si Kowboy Lajang dan Mr. J membongkar tenda dan beres-beres. Sementara saya dan Mr. Sam membuat camilan. Mie goreng, tempe goreng dan sambal kecap. Mantap sekali.

Tepat jam 12.30 kami langsung bergegas turn. Kembali menyusuri trek yang kami lalui ketika berangkat. Tapi perjalanan turun lebih cepat. Nafas saya tidak engap lagi walaupun ada nyeri-nyeri di lutut.

Sayangnya Si Kowboy Lajang sempat cidera lututnya. Tapi berungtung tidak lama kemudian kondisinya sudah membaik. 


Dalam perjalanan turun kami sempat beristirahat di bawah pos 3. Di situ ada mata air yang mengalir deras dan sangat menyegarkan. Bahkan airnya bisa langsung diminum karena sangat jernih. Membuat kopi dan membasuh tangan, mencuci muka. Sangat menyegarkan. Lumayan lama kami beristirahat di sini. Dan setelahnya kami kembali melanjutkan perjalanan karena hari sudah mulai sore.

Tiba di basecamp, kami berencana untuk mengambil foto di gerbang candi cetho. Sayang, waktu itu pintu pagar sudah ditutup. Jadi kami hanya bisa berpose di depan pagar pintu masuk.





Usai maghrib kami langsung pulang, melanjutkan perjalanan menuju Jogja. And that's all.

Kalau ditanya bagaimana kesannya, tentu saja luar biasa. Bagaimana tidak? Setelah setahun lebih tidak pernah beraktivitas fisik macam itu, tiba-tiba langsung dihadapkan dengan medan yang (katanya) landai. Katanya. Padahal.... -_-

0 comments:

Silakan tinggalkan komentar. Boleh kritik, saran atau apapun.. Jangan lupa untuk selalu menggunakan kata-kata yang santun. Terima kasih.